Sabtu, 08 Oktober 2016

Cita yang sederhana

Beberapa kali saya melihat rekan kerja yang berbeda dalam banyak hal. Saya sering tersenyum dan di dalam hati berterima kasih kepada mereka semua telah menunjukkan semua hal menakjubkan ini di dalam hati saya pribadi.
Yang pertama, saya sering melihat rekan rekan yang teramat sukses (paling tidak dari kacamata saya). Rekan rekan saya ini memang sangat gemilang nasibnya. Sangat manakjubkan loncatan karirnya. Dan sangat mengagumkan kehidupannya. Tentu saja, semua itu dari kaca mata saya. Mereka berkesempatan:
1. Belajar di luar negeri (contoh: Jepang, UEA, Amerika, Eropa, dll)
2. Memiliki gaji yang lebih tinggi dari rata rata sarjana muda (contoh: >7 jt perbulan)
3. Memiliki bisnis sendiri ataupun tinggal meneruskan perusahaan yang dimiliki oleh keluarganya (tanpa bermaksud iri kepada mereka)
4. Bisa jalan jalan berkeliling Indonesia, lebih lebih di luar negeri, merasakan hal baru dan berinteraksi dengan beraneka jenis manusia
5. Memiliki segalanya untuk hidup berkecukupan (orang tua sudah cukup, rumah sudah banyak, mobil lebih dari satu, dsb)
Saya sering melihat rekan rekan saya yang gemilang seperti di atas. Sungguh luar biasa. Padahal kami dulu sekelas, kami dulu bercanda bersama, dan kami dulu diajari oleh guru yang sama. Namun, teman teman saya di atas sungguh bisa melampaui pencapaian saya. Mereka seperti meloncat, bukan menaiki anak tangga. Mereka seperti terbang, bukan menaiki anak tangga. Sekali lagi, itu menurut pendapat saya. Saya bahagia, melihat mereka, walau terus terang saya sering merasa jauh tertinggal dan sangat berkeinginan menjadi seperti mereka (baca: iri).
Namun, Tuhan begitu bijaksana kepada diri ini. Disamping orang-orang seperti di atas, saya pun juga berkesempatan menjumpai rekan rekan yang kurang beruntung dalam hidupnya (setidaknya itu pendapat saya pada awalnya). Saya berpendapat seperti itu karena saya membandingkan dengan kelima poin di atas, mereka sama sekali tidak adil untuk dibandingkan.
Saya berkesempatan menjumpai rekan rekan yang memiliki gaji Rp 15000/ hari. Saya berkesempatan menjumpai kepala keluarga yang berpenghasilan Rp 1.085.000 per bulan. Saya berkesempatan menjumpai karyawan cleaning service yang tidak mampu melanjutkan studi S1, bukan karena dia tidak mau, namun lebih karena dia tidak mampu dan tidak memiliki kesempatan untuk itu. Saya menjumpai cleaning service yang bergaji Rp 500.000 per bulan, dan itu di Jakarta!. Saya berkesempatan menjumpai orang orang yang mendorong gerobak untuk hidupnya, mengais sampah untuk hidupnya, bekerja kasar untuk bertahan hidup, dan membanting tulang hingga larut. Oh Tuhan, saya bersyukur bisa menemui mereka!.
Mereka mengajarkan kepada salah satu cara bersyukur. Bukan dengan mengeluh, bukan dengan makian kepada Tuhan. Bukan dengan frustasi menjalani hidup, ataupun sedih karena nasib. Mereka bersyukur dengan...menerima dan bahagia.
Cita mereka begitu sederhana hingga mereka tidak peduli siapa Gubernur Bank Indonesia, ataupun presiden Indonesia. Yang mereka tahu hanyalah, mereka bekerja untuk esok, agar keluarga bisa makan, dan anak bisa sekolah. Mereka tidak pernah bermimpi akan masa depan. Mereka tidak pernah memikirkan harus seperti apa diri mereka sepuluh tahun mendatang. Mereka hanya berharap anak mereka lebih beruntung dari orang tuanya. Mereka memiliki senyum polos yang paling tulus sedunia. Mereka memiliki kebersahajaan. Walau mereka bekerja kasar, namun parfum mereka lebih wangi daripada saya. Saya malu, saya kurang bersyukur. Mereka bisa bercanda dengan lepas. Pekerjaan mereka beresiko tinggi namun mereka tidak pernah mengeluh apalagi memaki Tuhan. Mereka menikmati hidup dengan mendengar musik dangdut dari radio yang dibunyikan dari HP China. Mereka bisa tidur walau dirumah sempit, dan mereka bisa menaiki motor bonceng bertiga tanpa helm, sambil tertawa. Hidup tidaklah rumit bagi mereka. Hidup sangat sederhana bagi mereka.
Terima kasih Tuhan, telah mempertemukanku dengan mereka semua. Ajari aku bersyukur lebih baik lagi.

Tidak ada komentar: