Selasa, 22 Mei 2018

Benar dan Salah

Benar dan salah adalah sesuatu yang sangat relatif, setidaknya itu yang harus Kita rasakan dan pahami sebagai seorang manusia. Tak usah jauh jauh berbicara sebagai seorang muslim, sebagai manusia pun Kita sudah harus bisa memahami bahwa kebenaran itu amat relatif.


Faktanya, Kita tidak bisa hidup di dunia Hanya dengan mengandalkan benar dan salah. Dua unsur ini tidak bisa Kita jadikan hakim untuk melakukan segala sesuatu. Kita perlu melibatkan satu unsur lain. Unsur tersebut bernama keindahan. Di Dalam keindahan, ada akhlaq, ada adab, ada Budi pekerti, kebijaksanaan dan welas asih. 

Sholat subuh itu benar wajib. Tapi kalau dilakukan di tengah jalan raya, jadilah ia haram. Berhubungan dengan istri, sangat besar pahalanya. Kewajiban suami memberi nafkah lahir dan batin. Tapi, kalau berhubungan suami istri nya dilakukan di Tengah panggung dan disaksikan seribu orang seperti di Thailand, apakah itu masih bisa dibenarkan? 

Kebenaran itu relatif. Setiap orang tidak pernah selesai belajar tentang hakikat kebenaran. Apa yang Kita yakini benar di zaman dulu, belum tentu akan Kita bawa sampai Kita mati. Jangan jangan sebulan lagi Kita meralat kebenaran yang Kita yakini sebelumnya. Hal ini sangat wajar karena manusia itu bertumbuh. Manusia itu bertambah arif. Dan manusia bertambah bijaksana. 

Hal ini dengan sangat baik dicontohkan oleh Imam Syafi'ie. Beliau meralat pendapat nya dengan sangat fair tanpa perlu malu karena telah keliru menilai dan memahami sebelumnya. Hal ini dapat Kita baca Dalam Qaul jadid dan Qaul qadim Karya beliau. Justru, manusia terlihat bodohnya ketika dengan membabi buta meyakini apa yang Dia punya saat ini. Seperti kata orang, dunia tidak sekecil daun kelor. Ulama ulama terdahulu juga dengan sangat baik menunjukkan akhlaqul karimah Dalam hal perbedaan pendapat. Semua orang sudah pernah mendengar kasus qunut Imam Syafiie dan Imam Ibnu Hambal. Bagaimana mereka sangat toleran, dengan tetap berprinsip bahwa pendapatku bisa benar bisa juga keliru. 

Perbedaan adalah rahmat. Ketika Imam Malik mengatakan bahwa anjing itu tidak najis, tidak mungkin Kita serta merta bisa berkata bahwa Imam Malik bodoh. Naudzubillah. Disaat Kita Baru bisa mengutip hadist dari google, beliau telah hapal 500rb hadist berikut perawinya. 

Disaat Imam Hanafi mengatakan minum nabidz itu boleh Dalam kadar yang tidak memabukkan(sementara Imam lain mengharamkan), apakah Kita punya kapasitas untuk nge judge beliau adalah tukang minum? Naudzubillah. Bahkan ilmu Kita tidak ada sekelingking ilmu beliau. 

Memang sudah menjadi ciri khas orang yang kurang ilmu, hingga berantem dan mati mati an membela pendapatnya serta meyakini yang paling benar. Orang yang mengerti dan punya banyak ilmu, jangankan meng counter pendapat orang lain, Dia justru sibuk untuk menertawakan diri sendiri dan evaluasi diri. Disinilah keindahan tawadhu hadir. 

Rasulullah memberi makan pengemis yahudi buta dipasar, walau setiap Hari pengemis tersebut mencaci maki nabi dan mengatakan nabi Muhammad gila. Apakah nabi datang kepada beliau dengan membawa se tumpuk dalil yang membenarkan bahwa beliau adalah Rasul? Tidak, beliau justru datang dengan akhlaq. Tanpa dalil, tanpa ayat, hanya produk akhir dari Iman dan taqwa yaitu akhlaqul karimah. 

Ketika sudah mengerti hal ini, sudah sepantasnya lah Kita menghindari beberapa hal dan memperbanyak beberapa hal Dalam forum diskusi. Yang harus Kita hindari adalah: pertanyaan"mana yang benar?", bisa diganti dengan bertanya"mana yang dalilnya paling kuat, atau bagaimana memahami perbedaan ini dan ini". Harus dihindari juga ungkapan seperti "yang benar adalah ini", seolah mengatakan semua yang lain pasti salah. Bisa diganti dengan "sejauh yang saya pahami saya cenderung memilih ini"... Alangkah santun nya forum diskusi yang mengedepankan toleransi seperti ini. 

"sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq" - Rasulullah SAW

Tidak ada komentar: