Selasa, 24 April 2018

Menyikapi perbedaan sikap

Jika ada satu ayat, tafsir Anda belum tentu sama dengan tafsir orang lain.
Perbedaan tafsir ini seringkali menjadi pangkal perbedaan sikap.
Jelas, karena jika tafsirnya berbeda, maknanya menurut kita berbeda, dan apa yang harus dilakukan berkaitan dengan implementasi ayat ini juga berbeda. Lalu, bagaimana seharusnya kita menyikapi segala perbedaan ini?

1. Perbedaan itu adalah sebuah keniscayaan. Kenapa? karena isi kepala kita berbeda beda. Lingkungan kita berbeda beda. Dan verifikator mana yang benar dan salah sudah tidak ada. Seandainya Rasulullah masih hidup, kita bisa dengan mudah memverifikasi apakah pendapat saya benar atau tidak. Karena hanya Allah dan Rasulnya lah yang tau makna sesungguhnya dari segala sesuatu. Perlu di ingat bahwa wahyu dan hadist turun melalui perantara bahasa. Bahasa, sangat rentan dengan ambiguitas, kondisi, lingkungan, dan sensitifitas dari penerima kata kata tersebut. Sebagai contoh: ketika saya berkata "wah hebat bener ya kamu tidak pernah telat", apakah Anda benar benar memahami makna yang saya sampaikan? jawabannya tentu sangat tergantung banyak hal. Salah satunya adalah, kapan saya mengucapkan itu. Jika saya mengucapkannya pada saat menjumpai teman saya yang baru masuk kelas 30 menit setelah bel berbunyi, itu sindiran namanya. So, kesimpulan dari poin pertama ini adalah, apapun pendapat Anda dan mereka, Anda bisa benar bisa salah. Mereka pun bisa benar tapi juga bisa salah. Hakim nya hanya Rasulullah.

2. Jikalau perbedaan itu sudah pasti dan niscaya, yang harus kita lakukan berikutnya adalah menyikapinya dengan bijak. Pertama, jangan pernah menyalah nyalahkan orang atas apa yang ia percaya. Apalagi mengharamkan, mengkafirkan, dan menjamin seseorang masuk neraka berdasarkan pemahaman kita. Jika kita mengajak, menghimbau, dan menarik mereka agar berpendapat yang sama dengan kita, itu boleh. Namun perlu di ingat, jangan sampai menyakiti hati orang lain, menebar kebencian, atau bahkan menjadikan kita yang tadinya saudara, adem ayem, jadi berantem gak karuan. Masa sih, Rasulullah sudah mempersaudarakan kita sesama muslim, hanya karena urusan urusan perbedaan sikap yg berangkat dari perbedaan tafsir, kita akan lupakan semua itu?

Contoh mudah: semua orang paham cara menyetir sesuai standar operating procedure nya menyetir mobil. Tapi, tafsir akan hal ini bisa beda beda dan tergantung pula kecakapan seseorang dalam menyetir. Seseorang bisa memutuskan akan menyalip kendaraan di depannya, atau menunggu antrian, adalah opsi masing masing. Seseorang beranggapan kuning itu masih kuning lalu jalan terus atau sudah kuning dan akhirnya memilih untuk berhenti, adalah style masing masing based on jam terbang dan feeling. Jika menyetir dijadikan sebagai contoh, maka tujuan utamanya adalah sampai tujuan.

Mirip walau tidak sepenuhnya benar, tujuan agama adalah sampai kepada Allah SWT, pencipta alam semesta. Jadi, semua cara tidak bisa kita nilai sekarang. Itu semua tergantung seberapa tinggi tingkat penghayatan kita serta feeling kita terhadap setiap ajaran Agama. Yang paling top dan pas adalah yang paling cepat sampai kepada Allah dengan ridhoNya. Setiap orang bisa meng klaim bahwa cara nya adalah cara yang paling pas, paling efektif, ikutilah cara saya. Namun ingat, cara Anda tidak selalu benar untuk orang lain. Jangan musuhi orang lain yang tidak memakai cara Anda, pemahaman Anda, atau apapun teori Anda. Nyatanya, sering kita heran melihat tingkah laku dan sikap orang lain, namun sampai sekarang dia masih hidup dengan santai. Tidak sesuai dengan bayangan kita bukan? karena hidup tidak segampang itu. Tidak sesimple apa yang kita pikirkan dan prediksikan.

Wallahua'lam bisshowab.


Tidak ada komentar: