Sabtu, 04 April 2015

Alasan harus berpikir optimis dan positif

Di dalam ajaran agama islam, berpikir positif atau yang biasa disebut sebagai Khusnudzon sangat dianjurkan dan merupakan salah satu bentuk ibadah kita kepada Allah SWT. Di dalam pengertian ini, khusnudzon seolah olah adalah anjuran dan kita merupakan seseorang yang bisa memutuskan akan berkhusnudzon ataupun akan ber su udzon (prasangka buruk) terhadap segala sesuatu.





Syekh Ibn Ata'illah di dalam kita Al Hikam menjelaskan sesuatu yang sedikit berbeda untuk hal ini. Hal yang tidak lazim disampaikan oleh para ulama dan ustadz kebanyakan. Berikut penuturannya


Kenapa harus berpikir Positif

Jika kita berbicara alam nyata, memang benar bahwa seolah olah yang memutuskan untuk berpikir positif dan negatif adalah diri kita masing masing. Jika kita memutuskan untuk berpikir positif, maka kita akan bisa kesana. Hal ini bukanlah saya yang bilang, namun banyak sekali pakar psikologi dan ilmu ilmu lain yang mengatakan dan menyimpulkan hal yang sama. Kesimpulan ini tentu berdasarkan eksperimen2 yang dapat dipertanggung jawabkan secara empiris. Orang barat menyebutnya The Secret. Kemarin dulu pernah heboh film 5cm. Banyak buku yang membahas tentang pentingnya fokus dan berpikir positif. Tentu hal ini bukanlah menjadi sebuah mitos belaka saat ini. Banyak buku beredar mengatakannya, artinya banyak orang yang mengalami keajaiban dari berpikir positif.

Lantas, bagaimana islam memandang hal ini? kenapa di dalam ajaran islam khusnudzon adalah ibadah?

Syekh Ibn Ata'illah mengatakan bahwa ketika kita berkhusnudzon kepada Allah dan kita berpikir bahwa semua yang akan terjadi kedepan adalah yang baik, maka insyaAllah memang itulah yang akan terjadi. Hal ini dikarenakan yang sebenarnya terjadi adalah Allah yang lebih dahulu meniupkan rasa khusnudzon itu kepada kita. Dikarenakan Allah yang meniupkannya, maka sesungguhnya Allah memang akan mewujudkannya. Hal ini adalah sequence yang dibuat oleh Allah untuk makhluknya. Untuk memahami penjelasan di atas, silahkan membaca ilustrasi di bawah ini:

1. Pak Samin adalah orang yang tidak mampu di kampug nya. Suatu hari, dia didata oleh badan kependudukan setempat dan telah digolongkan sebagai warga kurang mampu. Beberapa bulan kemudian, akan dilakukan pembagian sembako. Karena pak Samin telah terdata sebagai warga kurang mampu, maka Pak Samin mendapatkan kupon untuk pengambilan sembako.

Pertanyaan saya, Pak Samin mendapatkan sembako karena beliau memiliki kupon pengambilan sembako ataukah karena beliau memang akan mendapatkannya?

Kalau kita berpikir lebih mendalam, kupon hanyalah bagian dari "sequence" pengambilan sembako. Sebenarnya, andaikan tidak ada kuponpun, Pak Samin tetap bisa mendapatkan jatah sembako karena namanya tentu telah tertera di daftar penerima sembako.

Di dalam tasawuf, para Sufi telah mengenal hal ini dengan baik. Mereka berpendapat bahwa ketika kita beristigfar, sesungguhnya yang terjadi pertama kali adalah Allah ingin membuat kita beristigfar, kemudian, Allah meniupkan istigfar itu kedalam diri kita sehingga kita ingin beristigfar dan sampai bisa beristigfar. '

Sama ketika Allah membiarkan kita berkhusnudzon, maka itulah yang akan terjadi.

"Aku sesuai prasangka HambaKu..."

Wallahua'lam bissowab

Tidak ada komentar: